Masalah culture fit dan skill fit dalam rekrutmen karyawan masih menjadi perdebatan seru di kalangan HR, manajer, dan pebisnis. Banyak yang pro skill fit, tapi tak sedikit juga yang memilih culture fit. Mana yang lebih penting?
Kita maunya kandidat yang kuat dua-duanya. Tapi, faktanya, nggak mudah menemukan yang seperti itu. Ada yang skill dan pengalamannya overqualified tapi kurang cocok dengan karakter budaya organisasi. Dan sebaliknya, ada yang skill-nya rata-rata tetapi punya kecocokan tinggi dengan organisasi.
Di artikel ini, kita bakal bahas tuntas soal culture fit vs skill fit, dan mana yang sebaiknya diprioritaskan dalam rekrutmen karyawan.
Culture fit: keselarasan individu dengan organisasi
Culture fit adalah tingkat kecocokan antara kandidat dengan organisasi, yakni sejauh mana nilai, perilaku, dan kepribadian seseorang selaras dengan workplace culture atau nilai dan budaya tempat mereka bekerja.
Setiap perusahaan tentu punya budaya kerja atau nilai perusahaan yang unik, mulai dari cara komunikasi, gaya kepemimpinan, sampai nilai-nilai inti yang dipegang teguh. Nah, mereka cenderung akan mencari kandidat yang punya value yang mirip.
Nilai inti adalah value dasar yang menjadi pedoman perusahaan dan nggak bisa ditawar. Contohnya, perusahaan media yang kredibel dan punya reputasi kuat akan merekrut jurnalis yang punya integritas dan kejujuran di atas segalanya. Alasannya jelas, prinsip dasar jurnalisme adalah independensi. Kebayang nggak jika jurnalis terima suap?
Sedangkan budaya kerja lebih menyangkut bagaimana cara menjalankan industri. Contohnya, perusahaan startup yang punya budaya kerja fleksibel dan kolaboratif lebih menyukai merekrut kandidat yang suka suasana kerja dinamis, nggak terlalu formal, dan bisa bekerja di mana saja tanpa banyak supervisi.
Baca juga: Cara Jitu Meningkatkan Retensi Karyawan di Perusahaan
Kelebihan culture fit dalam merekrut karyawan
Perusahaan yang menekankan pada culture fit dalam menemukan kandidat cenderung memiliki keuntungan dalam hal:
1. Meningkatkan employee engagement
Karyawan yang memiliki kecocokan dengan budaya perusahaan cenderung lebih terlibat aktif (engaged) dalam pekerjaannya dan merasa ikut memiliki organisasi. Employee engagement juga akan berdampak pada naiknya produktivitas.
2. Kolaborasi tim lebih baik
Tim yang punya nilai dan cara kerja yang sejalan bakal lebih ‘nyambung’ sehingga lebih mudah berkolaborasi dan mencapai tujuan bersama. Kesamaan budaya kerja juga mempermudah komunikasi yang efektif dan harmonis antar anggota tim.
3. Mengurangi turnover
Karyawan yang kurang cocok dengan budaya perusahaan biasanya gampang merasa nggak nyaman dan akhirnya resign — yang bikin biaya rekrutmen makin tinggi. Sebaliknya, karyawan yang cocok dengan budaya perusahaan cenderung lebih betah dan loyal, sehingga mengurangi biaya dan risiko pergantian karyawan.
4. Memudahkan adaptasi
Kandidat yang punya value selaras dengan nilai organisasi akan cepat beradaptasi, karena perusahaan tidak perlu mengintegrasikan budaya perusahaan dari awal. Karyawan baru sudah berada di ‘halaman yang sama’ dengan perusahaan.
5. Menciptakan lingkungan kerja positif
Culture fit membantu menciptakan suasana kerja yang nyaman dan suportif, yang berdampak positif pada peningkatan motivasi dan kinerja karyawan.
Baca juga: Perbedaan Mendasar Performance Appraisal dan Performance Management
Kekurangan culture fit
Meski banyak kelebihannya, culture fit juga punya risiko dan kekurangan jika diterapkan buta atau tidak proporsional pada rekrutmen. Apa saja?
1. Risiko homogenitas
Fokus berlebihan pada culture fit bisa membuat perusahaan hanya merekrut orang yang “mirip” sehingga mengurangi keberagaman pemikiran dan latar belakang. Untuk menghindarinya, terapkan culture fit hanya untuk nilai-nilai inti bisnis dan visi organisasi yang tidak bisa ditawar lagi. Sementara tentang budaya tempat kerja bisa dikompromikan.
2. Risiko kurangnya invasi
Karyawan yang homogen dalam pola pikir dan nilai dapat membatasi kreativitas dan inovasi karena kurangnya perspektif baru. Sebaliknya, inklusivitas lingkungan kerja akan lebih banyak mendorong inovasi.
3. Risiko bias rekrutmen
HR atau perekrut mungkin secara tidak sadar lebih memilih kandidat yang mirip dengan mereka sendiri, bukan berdasarkan kemampuan atau potensi terbaik. Jadi, kandidat direkrut karena punya karakter dan pemikiran identik, bukan karena keterampilan.
4. Risiko budaya statis
Terlalu mendewakan culture fit sebagai dasar perekrutan juga meningkatkan risiko budaya statis, terutama di perusahaan yang sudah berdiri lama. Banyak cerita perusahaan mengalami kemunduran karena mempertahankan budaya perusahaan dan menolak perubahan.
Baca juga: 5 Metode Pengembangan Karir, Tahapan dan Contohnya
Skill fit: kecocokan individu dengan kualifikasi (pekerjaan)
Skill fit adalah kecocokan kandidat dengan syarat keterampilan, keahlian, dan pengalaman, yang dibutuhkan untuk menjalankan peran di organisasi. Jika culture fit menyangkut kesamaan karakter atau nilai, maka skill fit berhubungan dengan kualifikasi teknis.
Skill fit biasanya dibagi jadi dua: hard skills atau kemampuan teknis seperti coding, desain, akuntansi dan soft skills atau kemampuan interpersonal seperti komunikasi, problem solving, leadership, dan teamwork.
Perusahaan butuh orang yang punya skill fit supaya pekerjaan bisa selesai dengan baik, efisien, dan mencapai target, sehingga bisnis bisa terus berkembang. Semakin tinggi level skill kandidat, maka pekerjaan makin cepat selesai dan hasilnya berkualitas!
Kelebihan skill fit
Perusahaan yang mengedepankan skill fit dalam rekrutmen karyawan memiliki keuntungan berikut ini:
1. Produktivitas tinggi
Karyawan yang punya skill yang benar-benar match dengan kebutuhan pekerjaan bisa langsung ‘tancap gas’ tanpa perlu banyak pelatihan. Mereka bisa bekerja lebih cepat, fokus, dan tepat sasaran. Ini juga membuat mereka lebih percaya diri dalam mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah, sehingga target organisasi bisa dicapai lebih cepat.
2. Kualitas pekerjaan lebih baik
Pekerjaan jadi lebih presisi dan minim kesalahan. Karyawan yang punya skill sesuai dengan tuntutan pekerjaannya mampu menyelesaikan tugas dengan standar tinggi, karena mereka sudah paham teknis dan tantangan di bidang tersebut. Hasilnya, output kerja jadi lebih berkualitas dan jarang terjadi error.
3. Efisiensi waktu dan biaya
Dengan skill fit yang baik, perusahaan tidak perlu mengeluarkan banyak waktu dan biaya untuk pelatihan dasar. Karyawan bisa langsung berkontribusi maksimal sejak awal. Apalagi jika ditunjang dengan pengalaman segudang, maka peluang untuk menjadi kreatif dan inovatif lebih besar.
Baca juga: PKWT atau Outsourcing: Mana yang Lebih Menguntungkan?
Kekurangan skill fit
Meski menjanjikan produktivitas dan efisiensi, skill fit juga tak lepas dari kekurangan. Apa saja?
1. Masalah ketidakcocokan budaya
Rekrutmen yang hanya fokus pada skill fit mungkin menghasilkan kandidat yang tidak cocok dengan budaya perusahaan, sehingga berpotensi kurang menyatu dengan organisasi. Masalah yang lebih serius bisa terjadi apabila sampai menimbulkan konflik atau ketidaknyamanan.
2. Soft skill terabaikan
Masalah paling umum dalam rekrutmen yang menekankan skill fit adalah terlalu fokus pada hard skills seperti keahlian teknis, dan kerap mengabaikan soft skill yang sebenarnya juga penting, seperti teamwork, komunikasi, dan daya adaptasi.
3. Risiko turnover tinggi
Terlalu fokus pada skill fit dan mengabaikan culture fit dapat berisiko pada turnover tinggi. Sebab, karyawan yang tidak menyatu dengan lingkungan tempat kerja cenderung tidak betah dan gampang resign, sekalipun mereka punya high-skill.
Baca juga: 8 Cara Merekrut Karyawan yang Berkualitas di Era Digital
Culture fit vs skill fit: Mana yang diprioritaskan?
Nah, ini dia pertanyaan yang sering bikin bingung HR dan manajer rekrutmen: lebih penting culture fit atau skill fit?
Jawabannya, dua-duanya penting, tapi prioritasnya bisa berbeda tergantung kebutuhan perusahaan dan posisi yang dibutuhkan.
Culture fit lebih penting, jika…
Organisasimu adalah startup atau tim kecil:
Di perusahaan kecil, suasana kerja dan kekompakan tim jadi kunci sukses. Orang yang nggak cocok dengan budaya tim bisa bikin suasana jadi nggak nyaman dan menghambat kolaborasi.
Posisi yang direkrut mensyaratkan banyak interaksi (team-centric):
Untuk posisi yang butuh teamwork tinggi dan membutuhkan komunikasi, kerja sama, dan kepercayaan — seperti sales, customer service, atau project manager — culture fit bisa jadi lebih penting daripada skill fit.
Perusahaan punya nilai inti yang kuat:
Kalau perusahaan punya nilai organisasi yang sangat spesifik, misalnya sustainability, diversity and inclusion, merekrut berdasarkan kesamaan value lebih penting, apalagi jika untuk karyawan entry-level. Soal skill masih bisa dilatih dan dikembangkan, tapi nilai dan karakter lebih sulit dibentuk.
Skill fit lebih penting, jika…
Merekrut posisi teknis atau spesialis:
Untuk posisi yang butuh keahlian khusus, seperti programmer, dokter, atau engineer, skill fit jadi prioritas utama. Culture fit tetap penting tapi bisa dinomorduakan, sementara skill fit nggak bisa dikompromikan.
Menjalankan proyek mendesak:
Kalau perusahaan butuh orang yang bisa langsung kerja tanpa perlu training, skill fit jadi kunci. Ini berlaku jika kamu butuh tenaga kerja kompeten secepatnya untuk proyek mendesak.
Cara menilai culture fit dan skill fit
Untuk menilai culture fit dalam rekrutmen, lakukan ini:
- Behavioral interview: Tanyakan pengalaman kandidat dalam bekerja di tim, cara mereka menghadapi konflik, atau bagaimana mereka beradaptasi dengan perubahan budaya kerja.
- Personality test: Tes kepribadian bisa membantu melihat apakah kandidat punya karakter yang sesuai dengan budaya tempat kerja.
- Reference check: Tanyakan ke mantan atasan atau rekan kerja sebelumnya tentang gaya kerja dan nilai-nilai kandidat.
Sementara, untuk menilai skill fit dalam rekrutmen, kamu bisa melakukan:
- Technical test: Uji kemampuan teknis kandidat lewat tes atau studi kasus yang relevan dengan pekerjaan.
- Portfolio review: Lihat hasil kerja nyata kandidat, terutama untuk posisi kreatif atau teknis.
- Certification check: Pastikan kandidat punya sertifikat atau pelatihan yang relevan dan valid.
Di luar perdebatan culture fit vs skill fit, ada perusahaan yang menerapkan konsep baru — culture add. Jadi, mereka nggak hanya mencari kandidat yang secara budaya cocok, tetapi juga yang bisa menambah warna baru pada budaya organisasi. Contohnya adalah Google yang lebih menyukai kandidat yang membawa perspektif baru dari luar.
Cari kandidat culture fit dan skill fit dengan aplikasi rekrutmen
Jika ingin membangun tim yang solid sekaligus produktif, kamu bisa menyeimbangkan culture fit dan skill fit. Untuk rekrutmen yang mudah, cepat, dan berkualitas, kamu bisa menggunakan aplikasi rekrutmen karyawan Gadjian ATS.
Aplikasi GATS ini bukan cuma membantu kamu mengelola data kandidat secara terpusat dan real-time, tapi juga memudahkan kolaborasi tim HR dan manajer dalam memilih kandidat terbaik. Semua proses dari posting lowongan, screening CV, sampai wawancara bisa dilakukan dalam satu platform berbasis cloud yang bisa diakses kapan saja dan di mana saja.
Selain itu, dengan fitur halaman jobsite gratis dari Gadjian, kamu bisa mempublikasikan lowongan kerja tanpa perlu biaya tambahan. Lowonganmu otomatis bisa dibagikan ke berbagai sosial media, sehingga peluang mendapatkan kandidat yang sesuai dengan culture fit dan skill fit perusahaan makin besar.
Kalau kamu ingin memperluas jangkauan pencarian kandidat, bisa juga memanfaatkan platform lowongan kerja Bisadaya. Di sini, kamu bisa mengakses ribuan talenta berkualitas dari berbagai bidang yang siap membantu kebutuhan bisnis kamu — dari tenaga magang, freelancer, kandidat disabilitas, dan pekerja senior.
Platform jobsite online ini didesain untuk memudahkan perusahaan menemukan kandidat yang tepat dengan cepat, sekaligus memberikan pengalaman yang nyaman bagi pencari kerja. Dengan Bisadaya, proses rekrutmen jadi lebih efektif dan hemat waktu.
Yuk, coba Gadjian sekarang dan daftar sebagai employer di Bisadaya agar bisa langsung posting iklan lowongan kerja kamu!