Quiet Quitting, Quiet Firing, dan Cara Mengatasinya (Infografis)

Quiet Quitting, Quiet Firing, dan Cara Mengatasinya (Infografis)

Nggak semua konflik di tempat kerja terjadi terang-terangan. Konflik atasan atau manajemen vs bawahan tidak selalu ditandai gebrakan meja atau suara marah, tetapi lebih sering terselubung. Di balik keheningan kantor, ada konflik diam-diam: quiet quitting vs quiet firing.

Karyawan maupun atasan merasa sudah tidak cocok lagi, dan tidak ada ikatan emosional sebagai tim. Tapi, keduanya tidak mengambil keputusan tegas. Karyawan nggak mau resign dan manajemen nggak mau memecat.

Perang dingin ini sebenarnya nggak sehat bagi atmosfer di tempat kerja. Bukan hanya karena memengaruhi kinerja tim, tetapi juga dapat memicu turnover karyawan.

Lalu, apa yang seharusnya dilakukan HR untuk mengatasi masalah relasi kerja yang nggak sehat ini? Yuk, kita bahas di artikel ini.

Apa itu quiet quitting?

Quiet firing perusahaan

Quiet quitting bukan berarti karyawan keluar diam-diam dari perusahaan. Bukan juga bolos, mangkir, atau menolak bekerja sama sekali. Mereka tetap datang tiap hari, bekerja, menjalankan perintah atasan. Tapi, cuma sebatas job desc mereka. Asal memenuhi standar minimal, secukupnya aja, nggak lebih!

Prinsip mereka “ngantor sesuai jam, kerjakan tugas, ambil gaji, lalu pulang, matikan ponsel”. Soal team building, nilai organisasi, employer branding, dan target perusahaan? Mereka nggak peduli!

Tanda quiet quitting karyawan antara lain cenderung pasif, nggak mau inisiatif atau kasih usul meski ia paham masalah, menolak lembur, ogah ngerjain yang bukan tanggung jawabnya, dan nggak ikut acara kantor kalau sifatnya nggak wajib. 

Intinya, karyawan tutup mata dan telinga soal urusan kantor di luar pekerjaannya. Nggak ada semangat membantu perusahaan agar bisnis lebih maju.

Baca juga: “Quiet Firing”dari Sisi Karyawan dan Perusahaan

Penyebab quiet quitting

Quiet quitting bisa disebabkan oleh banyak hal. Yang paling umum adalah:

  • merasa tidak dihargai atas kerja kerasnya
  • beban kerja nggak seimbang dan nggak ada dukungan
  • burnout, kelelahan mental
  • atasan toksik, diskriminatif—like and dislike
  • nggak dipercaya atasan mengerjakan proyek penting
  • nggak diberi kesempatan untuk berkembang, nggak ada pelatihan 
  • lingkungan kerja yang nggak “sehat” dan suportif.
  • Salah rekrut yang menyebabkan karyawan nggak terlalu cocok dengan peran atau nggak sesuai dengan budaya kerja perusahaan

Quiet quitting sebenarnya merupakan bentuk disengagement karyawan secara diam-diam. Mereka ada dan bekerja, tetapi nggak punya keterlibatan emosional dengan tim dan organisasi. Secara fisik, mereka hadir, tetapi mental dan emosionalnya udah cabut dari perusahaan. 

Jadi, jangan harap mereka mau berkontribusi lebih untuk perusahaan, meski sebenarnya mampu. Lalu, kenapa nggak resign aja? Mereka nunggu sampai dipecat karena mendapat hak pesangon. 

Menurut laporan Gallup, engagement karyawan secara global pada 2024 hanya 21% dan kerugian produktivitas mencapai 438 miliar dollar. Apa artinya? Kalau kamu punya 10 orang karyawan, kemungkinan hanya 2 orang yang engaged di tempat kerja. Sisanya, 8 orang nggak punya keterlibatan emosional dan bisa mengarah ke quiet quitting.

Baca juga: Updated: Cara Hitung PPh Pasal 21 Karyawan Mulai atau Berhenti Tengah Tahun

Apa itu quiet firing?

Quiet firing tidak berarti memecat karyawan diam-diam, tetapi “mengusir” karyawan secara halus. Manajemen atau atasan sebetulnya udah nggak menginginkan si karyawan. Keberadaan mereka nggak diperhitungkan dan nggak dianggap penting.

Tapi manajemen nggak mau memecat pakai jalur PHK. Alasannya adalah menghemat biaya terminasi, menjaga reputasi perusahaan, dan menghindari risiko hukum. 

Mengutip Harvard Business Review, quiet firing itu secara sengaja menciptakan lingkungan kerja yang tidak ramah yang mendorong orang untuk pergi secara sukarela. Sebab, pemecatan langsung berbiaya mahal dan berisiko.

Jadi quiet firing merupakan taktik atasan atau manajemen untuk membuat karyawan merasa nggak nyaman, stres, dan nggak betah di tempat kerja, lalu akhirnya menyerah dan memilih mengundurkan diri. 

Caranya sangat beragam, di antaranya::

  • mutasi atau demosi ke posisi yang nggak sesuai dengan kompetensi
  • sengaja tidak melibatkan karyawan dalam proyek penting
  • menutup akses pengembangan diri, tidak memberi pelatihan
  • membebani target yang nggak masuk akal hingga burnout
  • mengucilkan secara psikologis, tidak memberi dukungan, feedback, dan supervisi
  • tidak mengapresiasi hasil kerja atau kontribusi karyawan
  • mengurangi atau memotong tunjangan atau benefit karyawan
  • memberikan jam shift yang tidak nyaman terus-menerus

Baca juga: 3 Faktor Mengapa Kamu Wajib Memonitor Data Absensi Karyawan

Apakah quiet firing lebih merugikan dari quiet quitting?

Ya. Quiet firing punya efek lebih merusak. Quiet quitting bersifat pasif dan bisa dipulihkan dengan strategi engagement. Tetapi quiet firing jauh lebih problematik. Ini menggambarkan betapa buruknya perusahaan menangani SDM mereka!

Bayangkan, karyawan tidak berbuat salah, tetapi diberi “hukuman” nggak jelas, dibiarkan perlahan “membusuk” secara profesional. Karyawan dibuat stress, kehilangan motivasi, merasa tertekan mentalnya. 

Justru cara ini tanpa disadari akan menciptakan lingkungan kerja toksik, merusak budaya kerja, dan memperburuk citra employer branding—sulit menarik minat pelamar. Dampak lanjutannya, lingkungan kerja buruk akan ditinggalkan karyawan, turnover naik, dan perusahaan bisa kehilangan SDM yang potensial. 

Di mana peran HR?

Banner Aplikasi Rekrutmen Karyawan Online Berbasis Web dan Applicant Tracking System (GATS)

Quiet quitting dan quiet firing ini ibarat ayam dan telur—sering membingungkan mana yang lebih dulu. Keduanya bisa menjadi sebab sekaligus akibat. Lalu, di mana peran HR dalam konflik ini?

Idealnya, HR adalah penyeimbang. Tapi pada praktiknya, HR seringnya malah menjadi alat eksekusi manajemen atau mendukung atasan untuk menekan karyawan bawah. Padahal, belum tentu penyebabnya ada di karyawan.

HR seharusnya menjadi penengah yang netral dan berani menyelidiki masalah untuk mengurai benang kusut konflik ini, bukan malah ikut-ikutan “bermain” memindahkan karyawan ke divisi lain, nggak transparan soal nilai KPI, dan mengucilkan karyawan.

Bisa jadi, karyawan memang berkinerja buruk, sudah dikasih feedback, tetapi nggak mau dengar dan berubah, egois, dan nggak mau bekerja sama. 

Tapi bisa juga sebaliknya, atasannya yang toksik, memaksa karyawan bekerja di luar job desc, gemar nyuruh karyawan di luar jam kerja, tapi selalu mencari-cari kesalahan karyawan, nggak pernah kasih apresiasi, dan malah mempromosikan orang lain yang suka menjilat.

Indikasi komunikasi buruk dan budaya kerja nggak sehat

Konflik terselubung ini nggak akan pernah menguntungkan pihak mana pun, karyawan maupun perusahaan. Quiet quitting dan quiet firing adalah gejala dari komunikasi yang nggak beres, ekspektasi yang tak tersampaikan, dan budaya kerja yang toksik.

Kalau HR berdiri di sisi manajemen, jelas nggak akan mengubah apa-apa. Oke, si karyawan mungkin berhasil diusir setelah dibikin hampir “putus asa” bekerja. Tetapi apakah ini akan membereskan masalah? No. Yang ada malah memperpanjang masalah!

Tempat kerja tetap menjadi lingkungan buruk dan semakin membuat karyawan lain nggak merasa engaged. Budaya kerja tetap toksik. Dan yang lebih buruk, HR kehilangan fungsi strategis dan kepercayaan karyawan.

Cara mengatasi quiet quitting dan quiet firing

Quiet Quitting, Quiet Firing, dan Cara Mengatasinya

Sebagai HR, kamu punya kekuatan untuk memutus siklus ini. Kamu bisa jadi penjaga budaya kerja yang sehat, komunikasi dua arah yang terbuka, dan keseimbangan di tempat kerja.  

Ini cara mengatasi quiet quitting dan quiet firing yang bisa dicoba:

1. Hindari kebijakan manipulatif yang bikin demotivasi karyawan

Rotasi ke posisi yang tidak sesuai kompetensi, memotong akses pengembangan diri, atau memberi tanggung jawab di luar job desc—semuanya adalah bentuk quiet firing yang manipulatif. Alih-alih mendorong kinerja, justru bikin karyawan merasa dijebak untuk mundur.

Daripada menerapkan strategi agresif seperti ini, lebih baik dorong manajemen untuk membangun kebijakan yang adil dan berbasis merit. Karyawan yang merasa dihargai dan diberi kesempatan berkembang, akan jauh lebih loyal dan produktif.

2. Bangun komunikasi dua arah yang jujur dan terbuka

Quiet quitting sering terjadi karena karyawan merasa nggak didengar. Mereka lelah memberi masukan yang nggak ditindaklanjuti, atau trauma dengan feedback yang malah berujung tekanan. Gimana rasanya jadi orang yang peduli tapi malah nggak dianggap di tim?

Solusinya? Ciptakan ruang komunikasi dua arah yang sehat. Bukan cuma forum formal seperti performance review, tapi juga sesi mentoring, coaching, atau one-on-one meeting. Ini membantu memastikan bahwa suara setiap karyawan didengar—dan lebih penting juga ditindaklanjuti. 

3. Evaluasi beban kerja dan beri target yang realistis

Quiet quitting tidak selalu berarti karyawan malas. Bagaimana jika mereka ternyata mengalami burnout, kehilangan motivasi karena beban kerja yang nggak masuk akal, atau target yang terus dinaikkan sepihak tanpa ada dukungan atasan?

Di sisi lain, quiet firing juga bisa muncul dari manajemen yang kecewa dengan performa buruk karyawan tapi mereka nggak pernah menyampaikan ekspektasi secara jelas. Ada komunikasi yang nggak tuntas. 

Audit ulang beban kerja sekaligus buat ekspektasi sesuai dengan kapasitas tim. Kalau kamu menetapkan target tinggi, artinya kamu juga harus siap memberikan dukungan dan kepercayaan—tidak membiarkan mereka bekerja sendiri.

4. Beri akses pengembangan diri karyawan

Karyawan yang merasa stuck dan nggak berkembang cenderung memilih jalan diam: kerja secukupnya sambil cari peluang di luar. Inilah akar dari quiet quitting. Sebaliknya, ketika perusahaan sengaja menahan akses pelatihan atau promosi, itu bisa menjurus ke quiet firing.

Lebih baik, bangun kultur belajar dan berkembang untuk semua karyawan. Sediakan pelatihan, mentoring, atau kesempatan rotasi jabatan yang benar-benar mendukung pertumbuhan karier jangka panjang. Loyalitas mereka lahir dari rasa dihargai, bukan dikekang.

5. Terapkan evaluasi kinerja yang objektif dan transparan

Salah satu penyebab quiet firing adalah evaluasi kinerja yang nggak jelas arahnya. Karyawan merasa dihakimi tapi nggak tahu standar penilaiannya. Akibatnya apa? Mereka frustrasi dan kehilangan motivasi. Sementara dari sisi manajemen, keputusan promosi atau demosi nggak transparan—dan ini bisa memicu ketidakpuasan.

Solusinya adalah mengadopsi sistem penilaian kinerja yang transparan, terukur, dan mudah diakses. Misalnya, menggunakan aplikasi penilaian kinerja yang membantu HR dan manajer melakukan evaluasi yang objektif dengan metrik yang jelas dan proses yang adil.

Baca juga: Pelajaran untuk HR Terkait PHK Shin Tae Yong

Cegah quiet quitting dengan rekrutmen yang efektif

Seperti disebut di atas, salah satu penyebab quiet quitting adalah salah rekrut orang. Bisa jadi mereka sebenarnya punya kecocokan yang rendah dengan peran yang kamu inginkan. Atau, bisa juga sebenarnya karyawan nggak memenuhi syarat cultural fit—nggak cocok dengan budaya kerja perusahaan meski terampil dan berpengalaman.

Untuk meminimalkan salah rekrut, kamu bisa menggunakan platform rekrutmen online Bisadaya. Kamu bisa pasang iklan lowongan kerja di website untuk menjaring pencari kerja yang beragam dan merekrut langsung kandidat terbaik.

Keunggulan Bisadaya adalah dukungan teknologi AI pada sistem pelacakan pelamar (ATS) sehingga meningkatkan akurasi perekrutan berdasarkan kecocokan profil pencari kerja dengan kualifikasi lowongan pekerjaan. Ini akan membantu meminimalkan salah rekrut orang!

platform lowongan kerja bisadaya

Nggak cuma itu, Bisadaya merupakan platform rekrutmen inklusif yang menyediakan tenaga kerja beragam. Di sini kamu bisa menemukan talenta berkualitas, termasuk tenaga pemagangan, pekerja lepas (freelancer), pekerja dengan disabilitas, atau tenaga kerja senior yang punya pengalaman segudang.

Gimana sih cara posting lowongan kerja di Bisadaya?

Bisadaya terintegrasi dengan aplikasi payroll berbasis web Gadjian dan aplikasi absensi digital Hadirr. Jika sudah menggunakan Gadjian atau Hadirr, kamu otomatis sudah terdaftar dan memiliki akun Bisadaya. Langsung cus pasang iklan lowongan kerja dan mulai merekrut kandidat di jobsite ini.

Nah, kalau belum, daftar Gadjian aja dulu untuk dapat akses Bisadaya. Atau kamu langsung masuk ke website untuk mendaftar akun Bisadaya. Tinggal isi data profil, lalu pasang lowongan kerja. Gampang dan cepat!

jadi partner kamu!

coba gratis demo aplikasi HRIS dan payroll Gadjian

Baca Juga Artikel Lainnya